Masih sama, seperti biasanya, setiap main diluar rumah, pasti selalu menyelipkan senjataku, pisau dapur yang biasa digunakan ibu untuk mengiris bawang atau cabe.
Hari itu cerah. Jam masih menunjukkan pukul dua belas siang. Kebetulan kakakku, Ahmad, sudah pulang sekolah. Akhirnya kami berdua yang terpaut usia tiga tahun pun bermain bersama.
“Mas..Mas!” panggilku pada kakak. Aku sudah biasa manggil hanya dengan atu kata dan satu suku kata “Mas”. Sedangkan kakakku pun juga begitu, hanya memanggilku dengan satu kata dan satu suku kata “Dek” bukan “Dik” tapi “Dek” ya.. =)
“Mas..Mass!” karena kakakku tidak menoleh, maka kupanggil sekali lagi. Langkahnya sudah jauh di depan.
“Apa?” sahutnya.
“Pengen itu” jawabku sambil menunjuk ke arah atas pohon. Aku tepat berada di bawah pohon itu. pohon yang memiliki buah berwarna kuning. Isinya berwarna putih dan kadangkala rasanya asem. Tapi asem-asem manis. Keseringan rasanya asem sih. Kalau cara memakannya hanya dihisap seperti makan permen, tidak boleh ditelan. Bijinya harus dibuang. Kata ibu, kalau ditelan bisa nyangkut di usus dan bikin sakit. Oh iya, nama buahnya Kecapi. Atau ada yang bilang juga namanya Sentul. Pada tau nggak? Pasti nggak tau ya? =)
“Manjat sendiri sana!” suruh kakakku.
“HHAH!?!?” aku melongo sambil mengukur-ukur tingginya pohon sentul. Wiw, tinggi sekali.
“Tinggi.. kalau jatuh gimana?” aku memasang muka melas. Hah, ini adalah trik terampuhku kalau dengan kakakku tersayang satu-satunya ini.
Kakakku iba. Horeee.. teriak hatiku. aku seneng! Dasar Nies yang suka melihat saudara menderita. Dia mulai mendekatiku. Melihat-lihat ke atsa pohon.
“Banyak juga ya buahnya?!” aku mengangguk.
“Tunggu di sini. Aku mau ngambil tangga!”
Tak lama kemudian, kakakku kembali dengan tangga besar dan dia sandarkan di pohon agar memudahkannya memanjat. Ihiiirr,, kakakku jadi korbanku. *meringis.
“gedebuk!” suara kecapi yang dilemparkan dari atas. Berhasil dipetik kakakku.
Aku memunguti satu-satu. Kukumpulkan. Tiba-tiba....
“Nies.........!!! Nies...........!!!” Ups, suara bapak kami, wah, kalau bapak tahu kami memanjat pohon ini di siang bolong begini, pasti bakalan keluar tanduknya. Hem... mau berbuat apa, aku bingung. Haduh.. bumi bakalan berguncang.
“Niess...Niesss!!” bapakku memanggil lagi. Akhirnya bapak tau posisiku di mana. Bapak melangkah ke arahku. Waw, matanya merah. Hum.. bapak pasti marah.
Dem..dem..dem.. aku takut. Saking takutnya sampai suara bapak berbunyi seperti itu. kayak raksasa. Bapak semakin dekat jaraknya denganku. Aku hanya menoleh sekilas. Ku kasih aba-aba ke kakakku biar cepat turun, tapi dia tak mengerti maksudku. Malah dikira aba-abaku ini kayak bahasanya orang bisu.
“Mana Mas Ahmad?” tanya bapak dengan nada yang sangat tinggi.
Telunjukku otomatis menunjuk ke arah atas pohon. Sepertinya kakakku masih belum menyadari kedatangan bapakku.
“Masih aja bandel. Dibilangin kalau Dzuhur, siang bolong gini, nggak boleh main dulu. Nanti kalau jam dua baru boleh main!” gerutu bapakku, suaranya pelan sekali sambil tangannya meraih tangga yang disandarkan kakakku di pohon agar ia bisa memanjat dan bisa turun kembali.
“Loh..loh.. tangganya mau dibawa kemana?” tanyaku khawatir.
“Dibuang!” jawab bapak singkat.
“Mas Ahmad, gimana?”, tanyaku polos.
“Biarin aja. Biar nginep di pohon aja!” aku langsung dijewer di seret pulang kerumah. Jewerannya sih nggak kerasa sama sekali. Tapi kekhawatiran kalau mas Ahmad nggak bisa turun lagi gimana, atau kalau mas Ahmad jatuh gimana? Humm!!!
No comments:
Post a Comment
jangan lupa komentar yapss!! biar saya tau jejak Anda.. =)