Semua siswa kelas dua sudah mulai duduk rapi di bangku masing-masing, begitu pula denganku, Nies yang juga termasuk siswa kelas itu. Bu guru akan segera masuk kelas, pertanda pelajaran akan segera di mulai. Suasana kelas menjadi terkubur tanya sebab yang masuk kelas ternyata bukanlah ibu Guru, melainkan petugas TU yang hendak menariki biaya SPP bagi siswa-siswa yang masih menunggak biayanya. Wah, jantungku dag dig dug. Nafasnya tersengal-sengal, serasa dadaku sesak. Pasti dan pasti sekali, akulah murid pertama yang akan dipanggil. Wajar saja, bapak dan ibu hanyalah buruh dengan upah yang sangat minim. Uang jajanku hanyalah Rp. 150, berbeda dengan teman-teman lain yang uang sakunya berkali-kali lipat dari uang sakuku.
Aku merunduk. Sudah yakin bakal namaku yang akan disebut, malah untuk yang pertama kali. Heem... aku menarik nafas, mencoba menenangkan diri. Aku memang paling benci dengan acara penarika uang SPP ini. Kenapa tidak dipanggil ke kantor TU saja? Kenapa langsung diomongin di kelas kalau aku belum bayar SPP? Malu.. tapi bagaimana lagi, memang kenyataannya aku belum membayar.
Aku teringat ayah. Wajah ayah dan ibu bergantian menyelinap di otakku. Seakan terbayang kepayahan mereka yang begitu jelas. Ah.. tapi aku bisa apa. aku masih kelas dua. Bahkan, mengeja namaku saja aku belum bisa. Maklum, aku bukanlah anak yang cemerlang di antara teman-teman. =)
Petugas TU sudah memasuki kelas. Petugas itu gelagatnya seperti lintah darat. Ia melempar matanya ke segala sudut untuk mencari sasarannya. Jleep! Ya, tatapannya menusuk, aw, terasa sekali. ia menatapku.
“Nama yang saya panggil ini, harap segera melunasi pembayaran SPP. Nies Amira.” Ucapnya lantang.
Aku mengangkat tangan. “ya Pak!” menanggapinya.
“Jangan ya, ya saja. Bayarnya harus hari ini. Terakhir. Kalau tidak kamu tidak bisa ikut ujian. Besok kan ujian. Masa SPP belum dibayar sama sekali. kamu pakai jajan ya uangnya. Ayo cepat pulang sana. Minta uang sama bapakmu!”
Ehmm.. celekit-celekit. Biarpun aku masih kecil, mendengar omongan seperti itu serasa pengen muntah, pengen menghantam perut petugas TU itu. lagi-lagi aku terbayang bapak. Bukannya sudah seminggu ini bapak aku lihat hanya di rumah saja. Tidak bekerja. Bapak sekarang bekerja serabutan. Kalau ada tetangga atau siapapun yang ingin menggunakan jasa bapak, maka bapak kerjakan. Tanpa menolah dan mengiyakan ucapan petugas TU, aku langsung lari ke luar. Lari ke rumah. Ahh.. di dalam hati sebenarnya menjerit. Tak tega, bagaimana nanti kalau bapak ternyata benar-benar tidak punya uang. Lantas ujianku bagaimana?
Ah, bapak terlihat duduk santai di teras rumah. Segera aku berlari dan berhambur di pelukannya. Tubuhku yang kecil mudah saja bagi bapak untuk langsung meraihku, memelukku.
“Kok pulang, ada apa, mana tasnya?” tanya bapak.
“Iya, Pak. Disuruh minta uang untuk bayar SPP. Kan sebentar lagi ujian. Kalau tidak bayar tidak boleh ikut ujian.”
“Berapa?”
“Nggak tau!”
“Kok nggak tau?”
“Kata petugas TU banyak sekali Nies belum bayar SPP.”
“Ehm..”
“Ayo pak, kasih uang pak!” aku mulai merengek.
“Bapak nggak punya uang.”
“Paak..!”
“Besok aja bayarnya!”
“Sekarang pak. Nies disuruh pulang, disuruh minta uang sekarang!”
“Tapi bapak nggak punya uag. Besok aja bapak kasih!” Nada bapak mulai membentak.
“Paaaa..k!” aku merengek.
“Bapak bilang besok ya besok!” bapak mulai marah.
Besok?? Aku membayangkan lagi cercaan petugas TU itu. ah, aku tak berani mengatakan besok. Ah, aku takut. Tanpa kusadari, ternyata banyak sudah tetesan air yang leleh dari mataku. Aku berlari ke belakang rumah. Mennagis sejadi-jadinya di sana. Takut ancaman petugas TU tidak mengikuti ujian, takut bapak semakin marah. Ah, seandainya aku bisa menyulap banyak, tentu bapak tak usah repot-repot mencari uang untuk membayar sekolahku.
Tangisanku semakin menjadi ketika Bi Tina keluar dari dapur rumahnya. ia menangkap basah aku yang sedang menangis. Tangisanku bukannya malah berhenti ketika bi Tina mencoba menghiburku, malah semakin keras dan memancing bapak untuk meluapkan amarahnya.
“Sudah bapak bilang. Besok saja bayarnya!” teriak baapak lantang, lantas bapak langsung pergi. Entah ke mana. Aku merasa disia-siakan. Aku merasa sebagai anak yang paling sengsara. Padahal seharusnya aku tahu, masih banyak anak yang kurang beruntung di luar sana. Seharusnya aku mengerti keadaan bapak dan ibu yang susah sekali memunguti recehan rupiah. Ah, aku yang tertumpah di pelukan bi Tina, masih dengan isakan yang tak kunjung berhenti.
“Sudah..sudah.. ini bi Tina kasih uang untuk bayar sekolah. Cepat dibayarin sana, ya. Sekolah yang rajin!” ucap bu Tina sambil menyodorkan uang dan memasukannya ke sakuku. Kemudian, tangannya yang tulus itu mengusap sisa-sisa airmataku. Bu Tina sambil tersenyum menatap mataku sejenak ketika aku menatap matanya. hatiku bergetar. Ada semburat ketulusan yang jernih di sana. Aku tak sanggup berkata apapun termasuk berkata terima kasih. Kering rasanya untuk berucap, berkali-kali aku menelan ludah. Dengan gayaku itulah, bi Tina bisa mengartikan ucapan terima kasihku. Ada tatap mata yang berbalur kasih sayang di sana. Aku semakin bersemangat dan langsung berlari melangkah ke sekolah. Pasti..! Tuhan selalu menolong umat-Nya di saat yang tepat, tidak pernah terlambat. Kali ini pertolongan Allah datang melalui bi Tina. =)
No comments:
Post a Comment
jangan lupa komentar yapss!! biar saya tau jejak Anda.. =)