Nies kecil masih saja termenung. Padahal hari sudah semakin terik. Tidak ada yang ia kerjakan kecuali mengingat ulang mimpinya semalam. Mimpi yang sebenarnya sudah terjadi di dalam hidupnya. Namun, Nies kecil sepertiku maish juga tak bisa mengerti apakah itu benar-benar terjadi di masa lalu, meskipun sebenarnya telah terjadi.
“Tidak membaca doa sih, kamu pas mau tidur?!” Ibu menyalahkanku ketika aku selesai menceritakan mimpiku semalam.
“Mungkin Mbah lagi kangen sama Nies, atau Nies yang kangen sama Mbah!” Sahut kakakku. Nah, kalau komentar kakakku ini, lebih bisa masuk di otakku.
Mimpi itu terasa aneh. Kenapa harus hadir, bukannya itu adalah pengalaman balitaku dulu. Ya, dulu aku memang maish pantas dikatakan balita walau umurku sudah lima tahun.
Selepas shalat maghrib, di rumah mbah sudah ramai. Mbah sedang sakit parah. Dan kata ibu, malam itu mbah kondisinya mengkahawtirkan. Semua orang membacaka surat Yasin untuk mbah, berharap mbah bisa tenang hatinya dengan mendengar bacaan surat yasin. Aku yang masih doyan bermain, tak peduli dengan keadaan itu semua. Aku malah bermain-main di halaman rumah saat orang-orang dewasa sibuk mengurusi pengobatan mbah.
Aku yang mungil belum paham betul tentang kematian. Aku hanya yakin kalau mbah sakit dan dengan cara dan usaha keluarga besar untuk megobati mbah, maka mbah akan lekas sembuh dan kembai lagi membelikanku balon-balon berwarna-warni.
Selepas adzan isya, masih saja ramai. Ramai dengungan orang-orang yang membaca surat yasin. Aku yang kelelahan selepas bermain, langsung masuk ke rumah mbah. Ups, tapi sesampainya di depan pintu, aku belum memasuki rumah mbah, aku tertahan. aku hanya bisa berdiri di luar pintu. Bukan melihat sepenuhnya aktivitas orang-orang di dalam, melainkan mengintip. Ya, lebih tepatnya mengintip dari luar pintu.
Meski dengan mengintip, tapi kau bisa tahu semua kejadian di dalam rumah. Orang-orang yang sibuk menyiapkan ini itu, orang-orang yang membaca yasin, orang yang mengobati mbah, aku bisa menyaksikan semuanya dari tempatku mengintip. Tidak ada yang ganjal meskipun aku tak sepenuhnya mengenal orang-orang di dalam sana. Banyak wajah asing yang belum pernah kutemui. Aku masih cermat mengintip.
Mataku melotot. Ada wajah asing di sana. Ia baru saja keluar dari kamar tempat mbah diobati. Mungkin ia adalah orang yang menyembuhkan mbah. Berbaju putih rapi, pikirku. Ya dia keluar dari kamar mbah. Tiba-tiba bulu kudukku berdiri, serasa ada yang perih di bola mataku. Tapi kenapa wajah asing berbaju putih itu tidak berjalan ke arah pintu untuk keluar rumah kalau memang sudah selesai mengobati mbah. Aku semakin ingin berteriak ketika ia malah berjalan lurus dan hilang di antara dinding-dinding putih. Putih baju dan dindingnya hampir sama. Aku tak bisa membedakan itu hingga ia hilang entah kemana.
Tanganku gemetar. Ingin menjerit tapi lidahku keluh. Ah, tidak ada ludah di tenggorokanku. Kering, benar-benar kering. Aku ketakutan. Tubuhku semakin menggigil dan gemetar.
“Hei, ngapain disini?” ternyata ibu sudah merunduk di depanku, mengagetkanku. Ibu memelukku. Aku sudah berlinangan air mata di bahu ibu. Mataku perih setelah melihatnya. Badanku semakin bergetar kita ibu mengatakan hal yang tak pernah kuduga dan belum paham sepenuhnya, “Nak, mbah meninggal. Sabar ya Nak..!” bisik ibu lirih, hampir tak terdengar.
“He.. ayo cepat makan nasinya sudah matang!” gertak kakakku. Aku kembali bangun dari lamunan mimpiku semalam. Ah, aku terlalu mengingat kejadian malam itu.
No comments:
Post a Comment
jangan lupa komentar yapss!! biar saya tau jejak Anda.. =)