Friday, 25 November 2011

Jari-Jari Kecil Berdarah



Siang itu, tak tampak mendung yang biasanya menggelantung di langit padahal musim sedang penghujan. Sebuah keberuntungan untuk bocah kecil sepertiku. Oh iya panggil saja aku Nies. Bocah kecal satu SD yang masih belum mengenal baca tulis. =)

Pulang sekolah, seperti biasa, langsung saja kulempar tas dan seragam putih hijau kusutku ke atas lantai. Tidak ada siapapun di rumah. Kakakku, Ahmad masih mengais ilmu di sekolah tempatku bersekolah juga. Kami satu sekolah, tapi seperti dua anak yang tak saling mengenal. Eits, jangan salah biarpun begitu, aku dekat sekali sama kakakku, main-main bareng bahkan mencuri mangga tetangga pun barengan.


Kembali lagi ke tas, sepatu dan seragam yang kulemparkan ke lantai. Setelah itu langsung saja aku ganti dengan pakaian komprang dan jelek yang bisa dikatakan lebih baik dari sebuah lap meja kusam. Tapi, aku tak pernah peduli, toh, Cuma buat main, bukan untuk menghadir pesat ulang tahun. Ups, kalau pesta pun bajuku juga seperti ini sih. Maklum, kami dari keluarga yang perekonomiannya menengah ke bawah. Tak masalah, asal kami semua bisa tersenyum bersama, begitu kata bapakku.

“Nies!”, suara Deni. Yah, itu suara Deni yang memanggilku dari luar rumah.
“Nies, cepetan Nies!” Teriak Deni lagi.
“Ya!” sahutku dari dalam. Aku segera berlari ke luar rumah.
“Hai!” sapaku.
“Uh, sebentar!” tahanku pada Deni yang hampir melangkah.
“Ada apa lagi?” Deni bertanya, tapi telat, aku sudah berlari masuk ke rumah.

Segera ku berlari ke dapur. Mencari sesuatu. Ah tidak ada. Rak piring, tempat menyuci piring kujelajahi satu-satu. Ku obrak-abrik. Tetap saja tidak ketemu.

“Nah!” mataku cemerlang. Terpantul oleh sinaran suatu cahaya dari sebuah pisau di wadah bumbu-bumbu dapur. Segera kuambil pisau itu. inilah yang kucari dan kuselipkan di sela pinggangku. Hahaha, beginilah aku. Tak bisa bermain kalau tidak dengan sebuah pisau. Apalagi jadwal hari ini adalah....

Aku berlari ke luar, menghampiri Deni yang sudah menungguku lama. Ehm, sudah ada Nani dan Jaki nih. Pasti lebih seru.

Segera kami menuju perkebunan singkong di belakang rumah penduduk. Kalau berandai-andai nih, kebun itu ibarat surga yang kaya dengan permainan dan tantangan bagiku. Kebun yang luas dengan pohon singkong setinggi dua meter menjadi surga untuk kami. Ssluurrp! Angin yang datang sangat mesra dan menyegarkan. Semangat untuk beraksi di kebun ini semakin menjadi.

“Coba liat dulu, wak Jo dimana?” perintah Deni padaku untuk mengintip mencari sosok pemilik kebun. Kami masih bersembunyi di tumpukan sampah. Biasanya wak Jo selalu memutar mengelilingi kebunnya. Tidak pernah berhenti, selalu berputar-putar selayaknya gasing. Malah, ide mungilku dulu mengkhayal seandainya wak Jo adalah monster ganas, dan aku adalah ultraman yang memeringanya. Bukan pelit yang membuat kami jengkel, tapi ganasnya itu yang menakutkan. Kami bisa saja tidak mencuri, dan selalu mengintipinya seperti ini sepulang sekolah. Tapi tidak ada tantangannya kalau tidak begini. Maklum, jaman ketika mungil dulu masih belum banyak orang berjualan makanan yang aneh seperti sekarang. Saat itu yang aneh menurut kami adalah memakan singkog bakar hasil curian. Rasanya lebih gurih dan mantab daripada singkong-singkong yang dijual di warung-warung.

“Aman!” jawabku singkat.

“ya sudah, kita masuk!” perlahan-lahan, kami membobol pagar, masuk ke dalam kebun dan langsung menelusup di dalam rimbunan pohon singkong. Aman? Jelas! Tubuh kami yang mungil dan kecil ini tidak akan mudah ketahuan. Biarpun kami berlari-larian di dalam pohon singkong, asal tidak bersuara, pasti aman. Tidak ada seorang pun bisa mendengarnya selain keheningan dan bunyi krosak-krosak gesekan dedaunan yang dikira diterpa angin. Padahal itu kami.hehehe

“Cari pohon yang kira-kira sudah besar singkongnya dong!” aku menggerutu ketika tahu kalau Nani dan Jaki menjebol pohon singkong yang masih kecil. Humm.

“Nih, liat punyaku!” tiba-tia Deni mengagetkan. Wah, belum apa-apa dia sudah bisa menemukan singkong yang besar. Tapi sayang, singkong itu sulit dicabut.

“Keluarkan pisaumu!” pinta Nani.

“Ini!” kukeluarkan pisau dari pinggang dan kusodorkan pada Nani. Tapi Deni telah mengeluarkan sesuatu terlebih dulu dari pinggangnya. Pedang! :D

“ku kira kamu tidak akan berai membawa itu lagi setelah ketahuan ibumu kemarin!” ucapku setengah berbisik.

“tenang!” jawab Deni singkat sambil mulai mengggali tanah dengan pedangnya. Kami semakin bersemangat. Bonggol singkong yang besar itu semakin terlihat. Ups, besar. Wah, senangnya. Galian tanahnya pun sudah setengah. Sebentar lagi akan bisa dicabut.
“Singkirkan tanah itu, garuk pakai tanganmu!” perintah Deni padaku.

Aku menurut. Segera kuamil tanah-tanah bekas galian dan kusingkirkan. Aku semakin bersemangat. Bonggol besar itu kuelus-elus. Bersihkan tanahnya.

“kurang sedikit lagi!” Deni bersemangat sambil menancapkan lagi pedangnya ke tanah yang di sana masih ada jemari-jemari mungilku.

“Jroott!”

“uupss!” desah Deni sambil matanya melotot ke arahku. Tangannya masih memegang pedang yang ia gunakan. Pedangnya pun masih menancap di jari tanganku. Kami berdua saling berpandangan, kemudian berbarengan melihat ke arah tusukan pedang. Ada tanah dan bonggol singkong yang bercampur darah di sana.

“AAAAHHHHH!” teriak kami bersama.

“tanganku...tanganku..tanganku....!!!” aku cengeng deh.. mewek tanganku udah gandul-gandul.




No comments:

Post a Comment

jangan lupa komentar yapss!! biar saya tau jejak Anda.. =)