Saturday, 7 January 2012

Senja di Gubuk Kecil

#Ditulis untuk memenuhi tugas matakuliah Kemahiran Mendengar,.





Senja di Gubuk Kecil
Ketika pagi mulai merayap di ufuk timur, aku baru hendak ingin berjalan mengitari gubuk kecil di tengah pematang sawah di ujung desa. Sawah itu cukup luas. Terhampar hijaunya padi yang baru saja setengah umur. Dari arah tepatku berdiri, ada sebuah jalan kecil, setapak yang bisa mengantarkanku menuju ke gubuk kecil itu jika aku melaluinya. Kakiku terkayuh untuk sesegera melalui jalan setapak itu. jalan yang amat kecil, hingga badanku kadangkala miring ke kiri atau ke kanan untuk mencari keseimbangan.


Sekitar dua ratus meter aku mengayuhkan kaki, kini aku sudah berada di depan gubuk kecil itu. gubuk yang benar-benar kecil dan sederhana. Memang, sebab ini hanyalah gubuk tempat untuk kakek berteduh sambil mengurusi dan menjaga sawahnya. Gubuk yang menghadap tepat ke utara itu, letaknya persis di tengah sawah.

Tatapan mataku terlempar ke arah gubuk itu, mengitari seluruh area dan dinding-dinding gubuk yang terbuat dari jerami. Ku langkahkan kaki untuk mengintip ke dalam pintu. “Hemm, pintu yang hampir rapuh!”, gumamku dalam hati. Gubuk itu mungkin sekitar berukuran 3x3 meter. Di dalam gubuk, di pojok dinding sebelah selatan, terhampar sebuah bayang, dipan tradisional yang terbuat dari bambu. Di atasnya ada sebuah tikar anyaman pandan. Di bawah dinding sebelah kanan, ada meja kecil yang terbuat dari bambu pula. Di atasnya tergeletak sebuah sabit, teko tua, dan sisa cemilan kripik singkong. Sedangkan di dinding sebelah kiri, tergantung dua baju kumal yang banyak terdapat bercak-bercak lumpur. Dari sana aku bisa tau, pasti itu baju yang biasa di pakai kakek untuk ke sawah.

Dinding-dinding gubuk itu banyak terdapat cela sehingga aku bisa sedikit-sedikit mengintip ke luar gubuk. Sinar matahari pagi pun bisa mengintipku dari cela-cela itu. sinarnya masuk menembus dinding dan memantul di atas tikar anyaman pandan.

Sejenak, aku terdiam di sana, kemudian kulempar lagi pandangan ke luar. Cahaya sang surya langsung menyorot mataku, silau. Tangan kiriku segera kuangkat dan kututupkan pada wajah. Di pagi hari seperti ini, pemandangan sun rise di sawah kakek juga tak kalah dengan tempat lain. Pantulan sinar matahari memijarkan warna pelangi di atas hamparan sawah yang menghijau.

Belum puas sampai di sana, kulangkahkan lagi kakiku untuk mengitari gubuk kecil itu. Sampai di sebalah kanan gubuk, lagi-lagi aku terdiam. Ada seekor jangkrik di pucuk dedaunan padi. Aku berjongkok untuk menatapi pemandangan unik itu. Aku teringat kata-kata kakek. Beliau sudah terbiasa bermalam di gubuk kecil ini. Banyak hama akan datang malam hari. Kakek hanya bertemankan obrolan jangkrik yang menerobos gendang telinga. “Ya, harmoni musik alam yang luar biasa.” Begitu ucap kakek ketika bercerita tentang malam di sawah ini.

Aku suka sekali bermain ke sawah ini. Setiap aku mengunjungi kakek dan nenek, maka aku selalu menyempatkan ke sini, ke gubuk di tengah pesawahan ini. Matahari pagi saja sudah merekahkan indah, belum lagi ketika sore tiba. Semburat senja menyembur dari ufuk barat dan dipenuhi awan-awan yang juga terbius warna senja. Hamparan padi tidak lagi menyiratkan warna pelangi, melainkan warna-warna lila dan nila senja. Langit seakan dikitari oleh dinding alam berwarna kemerahan dan alam seolah beralaskan semua padi itu. Indah, sungguh indah sekali di senja hari.

Aku bangkit dari jongkokku, dan meneruskan melangkahkan kaki. Aku melangkah ke arah belakang gubuk. Ternyata ada sebuah pohon Kersem di belakang gubuk itu. di bawahnya ada sebuah kursi kayu yang sudah lumutan. Di atas kursi kayu itulah seorang lelaki tua duduk sambil mengelap keringat lalu menyentil sehelai daun kering yang jatuh di pangkuannya. Kemudian dia menoleh ke arahku. “Eh, cucuku! Sini..sini!” sapanya. Aku tersenyum dan menghampirinya. 

No comments:

Post a Comment

jangan lupa komentar yapss!! biar saya tau jejak Anda.. =)