Thursday, 3 November 2011

Belajar Kehidupan dari Tukang Panggul



Kalau Anda pernah ke Kawah Ijen, Gunung Ijen di kota Banyuwangi-Situbondo, maka Anda tidak asing melihat pemandangan banyak tukang panggul yang hilir mudik di area pendakian menuju ke kawah. Di antara mereka ada yang berjalan menanjak dengan kucuran keringat yang deras, juga ada sebagian lagi yang turun dari atas puncak dengan panggulan dua keranjang belerang.


Tak jarang, tukang-tukang panggul itu akan menjadi perhatian kita kalau kita pergi ke sana. Cengkrama dan sapa mereka kerap menemani perjalanan kita sambil mendaki. Keramahan dan raut muka pejuang tersirat jelas di guratan wajah yang sendu itu.
Mereka adalah tukang panggul yang mengangkuti belerang dengan keranjang yang di panggul di pundak mereka. Tak berat? Salah jika menebaknya demikian. Meskipun keranjang terlihat tidak terlalu besar, ternyata berat dari isi keranjang itu adalah 70-90 kilogram.

Kita sebagai pendaki saja, untuk mendaki ke puncak kawah yang jauhnya sekitar 4KM membutuhkan waktu 2 jam, itupun dengan berkali-kali istirahat. Lelah luar biasa. Baru setengah perjalanan, tanpa bekal apapun, kita sudah kehilangan semangat. Seolah-olah perjalanan menuju puncak masih teramat jauh. Mungkin bagi Anda yang naik ke gunung lelah semacam ini sudah biasa. Tapi bayangkan lagi, bagaimana tukang panggul itu bisa memanggul keranjang yang berisi 70-90 kg belerang padat dari atas ke bawah. Betapa lelahnya. Jalanan di sana pun tidak segampang yang diperkirakan. Memang ada beberapa setapak yang terlihat rata dan nyaman untuk dilaluii, namun di tengah perjalanan, jalanan 
itu akan naik turun dan sangatlah licin.

Bukan hanya di sana letak kelelahannya, yang lebih mengagumkan adalah ternyata mereka mulai bekerja dari pukul satu dini hari. Itupun mereka hanya mendapat dua-tiga kali panggulan hingga sampai di bawah. Bekerja memang haruslah lelah, tapi jikalau bekerja dengan demikian, maka gaji yang mereka terima pantaskah dengan peluh yang keluar dari tubuh mereka?

Setelah saya tanyakan, ternyata gaji yang mereka terima di sekali angkutan sekitar 15.000. jumlah yang terasa kecil untuk pengeluaran tenaga yang begitu besar. Apalagi jam kerja mereka dari jam satu dini hari hingga menjelang senja. Lalu? Kapan mereka istirahat? Belum lagi dari kaki gunung Ijen ke kampung halaman mereka juga membutuhkan waktu 1-2 jam sebab jalana setapak di sana tidaklah mulus. Bahkan hancur dan tak layak disebut sebuah rute perjalanan wisata.

Dengan upah yang sejumlah di atas, bagi mereka sudah lebih dari cukup. Yang lebih mengesankan lagi, syukur mereka akan bertumpuk-tumpuk, mereka bersyukur tidak menambah beban negara dengan menjadi pengangguran. Meskipun kerja demikian, halal sudah ebih dari cukup. Pasti, di balik keringat yang deras itu, ada banyak harapan yang tertanam di sana. Semangat mereka yang tak pernah layu, membuahkan kesabaran dan peningkatan nilai kemanusiaan yang istimewa.

Kita yang masih muda, seolah merasa malu dan tertampar. Lelah sedikit saja, kita sudah tak karuan mengadu kepada Tuhan. sulit secuil saja, kita sudah protes. Ternyata memang beginilah kehidupan. Hidup bukanlah sebuah protes, melainkan sebuah proses yang harus dijalani. Begitu pula bagi tukang panggul itu, tanpa mengeluh dan lesu mereka menjalani takdir yang menemani mereka. Proses hidup tak mengenal kata indah atau buruk. Indah dan buruk adalah sebuah kewajaran. Mengingat di dunia ini selalu tercipta berpasang-pasangan. Jika sekarang mereka mengalami demikian, maka denga semangat, doa yang terpacu harapan, suatu saat kelak keburukan yang mereka anggap teman pasti akan menjauh dan mengantarkan mereka kepada keindahan.

No comments:

Post a Comment

jangan lupa komentar yapss!! biar saya tau jejak Anda.. =)