Monday 6 February 2012

Ijab Qabul

Pagi hari, ketika sang surya mulai memeluk jagat raya untuk memberikan pancaran sinarnya, hingar bingar dan suara-suara serombongan ibu-ibu yang belanja, sebagai ritual wajib di pagi hari, memperbincangkan sebuah kabar. Entahlah kabar burung ataukah memang benar seonggok nasib membelai wak Pi.

Suara orang bercengkrama, kaget, tidak percaya, bingung, cemas, bercampur aduk menjadi satu dengan udara yang menguapkan dingin pagi. Wak Na, istri wak Pi pergi berbelanja di subuh buta. Malang, ia terjatuh dari sepeda buntutnya ketika di pertigaann jalan ia gugup mengemudikan setir sepeda, alhasil sepedanya oleng dan kecelakaan itu berhasil mematahkan kaki wak Na. Tidak ada yang tahu persis bagaimana ia terjatuh, yang orang-orang tahu, ia hanya terlihat gugup dan terjatuh ketika melintas di pertigaan namun ada sebuah motor secara mendadak melintas menyalipnya.


Wak Pi yang saat itu tengah mencangkul di ladang segera di jemput Paimo, tetangga wak Pi yang menjadi saksi jatuhnya wak Na dari sepeda. Wak Pi segera berlari menjemput istrinya, kemudian membawanya ke rumah sakit.

***
“Yani, Yani!” suara Paimo memanggil keras putra bungsu wak Pi. Tidak ada siapapun di rumah kecuali Yani pagi itu. Putra sulung wak Pi sudah memiliki rumah sendiri di ujung desa.
“Ada apa wak Mo?” suara lelaki yang berusa dua puluh dua tahun itu menyahut dari dalam rumah. Kemudian langkahnya mulai terlihat keluar rumah, sambil mengenakan kaos oblong ia menghamiri Paimo.
“Bapakmu, emakmu?”
“Kenapa wak?”
“Emakmu kecelakaan terus dibawa bapakmu rumah sakit Yan!”
“Ha?! Innalillahi... Terus sekarang emak di mana?” Yani terkejut. Ia shock berat, mendapat kabar demikian, langsung mengguncang-guncang hatinya. Ia sangat khawatir dengan keadaan emaknya.
“Tapi, bukan emakmu, tapi bapakmu?” kata Paimo gugup.
“Loh? Bapak? Bapak kenapa wak?” tanya Yani sambil mengguncang-guncangkan bahu Paimo, agar Paimo sesegera mengeluarkan suara, dan menyampaikan kabar ini.
“Bapakmu kepeleset!” nah, Paimo berhasil mengatakan.
“Alhamdulillah, Cuma kepeleset!” kata yani sambil menarik nafap lega. Namun, tetap saja, ia menaruh kekhawatiran yang berlebih pada keadaan emaknya.
“Bapakmu kepeleset, terus tidak sadarkan diri, dan akhirnya dia tidak bangun lagi, Yan!” kata Paimo lancar,  namun matanya meleleh, ada pesan yang sedikit tertuang, air mata membasahi pipinya, setelah melewati kebenarian dan melawan gugup agar bisa mengatakannya pada Yani.
“Wak?” Yani masih belum percaya. Paimo hanya mengangguk pelan.
“Bapak wak, emak wak?”
“Iya, bapakmu” kata Paimo tersedu.

Dalam waktu singkat, sudah banyak kunang-kunang yang berputar kencang di kepala Yani, Yani tidak tahu kapan kunang-kunang itu datang, yang pasti kepalanya penat, ada satu tekanan yang menghimpit saluran nafasnya dengan keras sehingga nafasnya sesak, suaranya berat. Ia seperti dipecut oleh Tuhan. Ada bisikan-bisikan yang tak tahu datangnya dari mana. Yani masih terdiam, di sudut matanya, mulai mengalir kali kecil yang terus mengalir pelan dari matanya, menetes dan terjatuh ke tanah.

Di sisi hati lain, ia mengingat lagi kejaidan dua hari lalu, ketika ia membayangkan sosok Adi, teman sekolahnya dulu yang ditinggal mati bapaknya, sehingga ia kesepian. Dan kini ternyata bayangan itu menimpanya pula. Namun, di sisi hati lain,masih ada keraguan untuk menerima kabar ini. Tapi, semua memang benar, ketika banyak orang sudah berdatangan ke rumahnya. ia masih gugup. Bukan ketidakpercayaan, namun sisi hatinya masih belum bisa menerima kenyataan.

Ah, semuanya terlalu cepat, Yani ingin menangis sekeras-kerasnya kalau saja itu bisa menghapus semua perasaan duka dan ketidakikhlasan kehilangan. Namun, ia lelaki, apa jadinya kalau ia menangis keras. Hati Yani mencoba membisikkan sesuatu yang lembut, “Ikhlaskanlah, bersandarlah pada ketabahan!” dan di sisi hatinya yang lain mengatakan, “Ah, kamu harus berontak pada Tuhan, sebentar lagi hari pernihakanmu. Bukankah bapakmu merindukan bidadari yang akan kau bawa pulang? Berontaklah pada Tuhan, ini tidak adil bagimu. Tuhan telah merenggut bapakmu sebelum kamu bisa membahagiakannya. Menangislah, menjeritlah. Ingat ibumu, bagaimana hatinya ditinggal bapakmu sendirian, sedangkan kau akan melanjutkan ke jenjang ijab qabul untuk meminang bidadari dua hari lagi, ingat kakakmu yang begitu menyayangimu, ingat dirimu yang masih membutuhkan bapakmu untuk menjadi wali nikahmu. Ingat, semua itu Tuhan yang mengatur. Tapi Tuhan tidak adil padamu!” bisikan-bisikan itu terus menghampiri dan memenuhi otaknya.

Ia semakin penat. Ada banyak beban yang menggantung dikakinya sehingga ia sulit untuk melangkahkan kaki menuju tempat tidur. Ia ingin menenangkan diri. Tapi, tenang bagaimana, ah, tiba-tiba semuanya menjadi samar, abu-abu, lalu berubah menjadi hitam, pekat.

***

Suara ambulance menderu-deru di jalanan menuju rumah Yani. Yani terbangun, telinganya sakit mendengar auman sirine. Hatinya menjerit sakit, ia kembali terbawa pada sebuah acara pernikahannya, ya itu pernikahannya, ia mengucap ijab qabul dengan segenap mas kawin untuk meminang bidadari yang dirindukan bapaknya.

Pada mulanya, Yani tidak pernah berpikiran untuk bisa menikah muda. Namun, ketika bapaknya menanyakan kapan bidadari itu dijemput pulang ke rumah. Yani gelagapan menjawabnya. Akhirnya, setelah dua bulan mengarungi dunia bidadari yang begitu berliku, ia menemukan Nita, bidadari yang akan dipersembahkan untuk bapaknya, dipinang, dan dibawa pulang dengan mas kawin seadanya, dan bersedia mengandung buah hati Yani, ya semua itu terjadi sekarang juga. Yani melihat ada seorang pemuda yang sedang mengucapkan ijab qabul. Suara itu sangat familiar, Yani mendekat dan ternyata itu dirinya. Yani sangat bahagia, ada banyak bunga yang bertabur jatuh di depannya.

Ia melihat pelaksaan ijab qabul di hari pernikahannya, begitu mewah. Emak memakai kebaya berwarna merak di padu dengan jarik batik. Wah, ada bapak juga di sana. Bapak juga memakai celana hitam, kemudian kemeja batik merah dan peci hitam. Ah, mereka, bapak dan emak pasangan yang serasi. Semarak pernikahannya membuatnya puas. Bapaknya tersenyum tulus. Namun, yang ia lihat, senyum dan tubuh bapaknya terlihat semakin mengecil, mengecil dan mengecil. Ternyata bapaknya sudah sangat jauh dari tempat yani berdiri. Yani mengulurkan tagannya untuk menarik bapak, namun terlambat, bapak sudah mengecil hingga terlihat hanya satu titik dikejauhan dan menghilang. 

“Yan! Kamu sudah baikan?” tanya Paimo setelah mengetahui Yani tersadar dari pingsannya.

Mendengar sapa Paimo, ia kembali teringat nasib yang menimpanya. Ternyata semua yang ia lihat tentang pernikahannya, ijaq qabul dan Nita, semuanya hanyalah ilusi yang hidup dalam pikirannya.

Kembali hatinya kecut, orang-orang sudah banyak yang memenuhi rumahnya. tidak untuk membantu mengurusi segala urusan pernikahannya atau mengucapkan selamat menempuh hidup baru.  Namun, mengantarkan selembar pesan duka yang begitu menyayat dihatinya.

Ah, Allah! Allah! Allah! begitulah hatinya menggigil. Ia harus kuat. Bagaimana mungkin ia bisa mengimami Nita apabila ia tidak bisa menahan air mata atas yang Tuhan ujikan. Dan di lubuk hati yang lain, ia tanamkan dalam-dalam sebuah keyakinan. Keyakinan bahwa jalan tuhan semuanya baik, semuanya akan berlalu dan kembali baik-baik saja.


(Ditulis ketika mendengar cerita serupa. Nama tidak di ubah. Senin, 6 Februari 2012)

No comments:

Post a Comment

jangan lupa komentar yapss!! biar saya tau jejak Anda.. =)