Thursday, 5 January 2012

Kisah Dion dan Arina

Malam masih seperti malam-malam kemarin. Tidak ada yang berubah. Dan Arina masih bisa jalan-jalan santai di taman kota bersama Dion. Suasana malam yang berbalut bintang serta pantulan lampu-lampu kota sepanjang jalan membuat suasana semakin romantis. Memberikan sentuhan sensasi romantisme.
"Kira-kira, kita bisa jalan-jalan seperti ini terus ngga ya?" Arina mulai membuka obrolan.

"Ya bisa dong, Ar..!"
"Masih di tempat ini?"
"Ehm... ngga tau.. yang pasti, kita akan tetap bisa berada dalam suasana yang seperti ini. Entah itu kapan dan dimana?" jawab Dion santai. Kemudian ia menatap Arina, gadis yang ia sayangi sedari lima tahun yang lalu itu. Tangannya yang kekar mulai meraih tangan Arina, mereka melanjutkan melangkahkan kaki dengan tangan Arina dalam genggaman Dion.

Hening.


"Ar..!"
"Ya..!"
"Ehm... aku mau tanya..!"
"Apa?"
"Ehmm..!"
"Apaan sih? Ih..sok misterius banget deh kamu!? ledek Arina dengan canda.
"Hehe..!"
"Ayo ngomong! mau tanya apa?"

Hening.

"Ar, kalau misalnya aku ngga ada, kamu gimana?"
"Hah, maksudnya?"
"ya, kalau misalnya aku ngga ada, kamu gimaa?"
"Ih.. jangan ngomong aneh-aneh deh, Dion!"
"Auww!"" teriak Dion ketika tangan Arina mulai kesal dan mencubit perutnya.
"Ya.. kan aku tanya aja!" sahut Dion.
"Udah deh, kamu ini ngomong apaan sih.. !" Arina kesal.
"Ya, kalau memang aku bakalan pergi.. kamu baik-baik ya. Inget aku dihatimu, dan kamu aku simpan di sini."  kata Dion sambil menunjuk ke arah dadanya.

Hati Arina serasa bergetar. angin malam semakin menggelegar. Udara terasa semakin kasar. Ia mulai gelisah. Ah, semoga saja, Dion sedang mengigau.

"Udah deh, diem! aku ngga suka kamu ngomong gitu!" bentak Arina kasar. Tanpa disadari, ternyata mata Arina ada setitik air yang mulai mengambang, menggenangi matanya. Ia takut, namun rasa takut itu ia tepiskan jauh, sebelum Dion menangkap basah air mata dimatanya.

Lampu-lampu kota masih menyorotkan cahayanya, menemani malam, hingga fajar menjelang. Sama seperti yang diinginkan Arina, ingin Dion menemainya, hingga dunia telah letih menopang raganya.

Dion terdiam. ada isak tangis di hatinya. Ia tatap wajah Arina yang ayu itu tanpa sepengetahuan Arina. 
Namun, belum lama ia menatap, Arina sudah menjewer pipinya. Arina canggung dan selalu mencubit pipinya jika Dion sengaja menatap wajah Arina dengan tatapan yang dingin sedingin angin malam yang berhembus di balik tengkuk mereka.

"Hi.. Dion.. apaan sih? pasti deh gitu natapnya?"
"Hehe.. masak ngga boleh.. besok udah ngga lagi loh!"
"Huh!" Arina lagi-lagi kesal. Hatinya menggerutu. Besok udah nggak lagi? apa maksudnya? Lagi-lagi Arini diliputi gelisah. Dan gelisah itu ia tepiskan jauh-jauh. Malam ini acaranya bukan untuk gelisah-gelisah, namun untuk berduaan dan berbahagia bersama Dion.

Dalam langkah kayu dan layu, Dion masih saja menginginkan menatap wajah Arina, dan ternyata itulah tatapan terakhir Dion pada wajah Arina.

Setelah mereka berjalan-jalan santai menikmati malam, keesokan harinya Dion pamit untuk pergi kursus bahasa Jepangnya. Tak ada firasat dan kabar apapun, ternyata pamitnya Dion itulah hari terakhir Dion menghirup nafas di dunia. Arina, hanya menatap kaku, pada malam, pada langit yang bisu. ingin sekali ia memutar waktu, membiarkan Dion menatap wajahnya malam itu. Ingin sekali ia berkata, aku sayang kamu dan tidak ingin kehilanganmu. sebab selama mereka memutuskan untuk jalan berdua, tak sekalipun kalimat itu terlontar dari bibir Arina. jangankan bibir, dari SMS atau telfon pun itu belum pernah Arina katakan. Namun, semua sia-sia. Waktu sudah berlalu pergi, menjauh.  Dion pun berlalu, meninggalkan Arina, dalam kehampaan yang bisu. Dalam hati yang terguguh. 

waktu lebih dulu datang padamu
kini kau begitu jauh
hingga sukar aku menyentuhmu, apalag bersandar dibahumu
kita benar-benar terpisahkan jarak, ruang dan waktu
namun, menyatu dalam kenangan masa lalu

No comments:

Post a Comment

jangan lupa komentar yapss!! biar saya tau jejak Anda.. =)