Ayam masih terlelap dikandangnya, mengigau dengan sekawanan. Membuai pagi yang berselimut embun. Namun, tidak untuk Tegar. Ia sudah membuyarkan mimpi malam, menuju mimpi baru untuk menertawakan dunia. Ya, ia lebih senang menertawakan dunia daripada ditertawakan dunia. Katanya lebih memalukan ditertawakan dunia daripada terpeleset kulit pisang di tengah kerumunan massa.
Matahari masih terlelap. Samar-samar terdengar sayup-sayup suara qiraah di mushollah kecil yang letaknya jauh di ujung kampung. Waktu subuh kurang sekitar dua atau tiga jam lagi. Tegar berlari ke pancuran kecil di belakang rumahnya, menyentuh air yang dingin dan jernih itu lalu membasuh mukanya dengan tetesan air wudhlu. Masih banyak waktu untuk menunaikan shalat tahajud dan shalat witir, pikirnya.
Selepas shalat sunnah itu, Tegar tidak langsung beranjak dari sajadah yang ia gelar di atas tanah beralas koran di kamar tidurnya. Kamar tidur berukuran 3x3 meter berdinding kayu dan tertempel koran-koran bekas di saa untuk menghambat masuknya angin ke dalam itu, selain untuk melepas penat dan lelah, juga berfungsi untuk menunaikan kewajibannya sebagai seorang muslim.
Tegar masih meringkuh di atas sajadah. Lantunan dzikir dan doa ia panjatkan dengan linangan air mata. Memohon agar Allah senantiasa mendengar setiap doa yang ia haturkan. Urusan terkabulkan atau tidak, Tegar selalu menyerahkannya kepada yang Maha Kuasa. Sebab bagi Tegar, kita hanya diizinkan untuk bermimpi, mewujudkan dan memohon agar Allah mengabulkan. Namun, untuk segala yang terbaik utnuk dikabulkan, ia pasrahkan kepada Allah. sebab Allah-lah yang maha tahu mana yang terbaik untuk umat-Nya, termasuk terbaik untuk Tegar.
Adzan Subuh mulai terdengar bersahutan di udara. Mengingatkan setiap hamba yang masih terlena tidurnya. “assolatukhoirumminannauum!!”, shalat itu lebih baik dari pada tidur. Terdengar suara serak dari muadzin yang menggetarkan hati bagi angin, alam dan bahkan jagat raya. Bumi seolah bergerak untuk mengusik tidur para manusia agar segera terbangun dan menunaikan shalat.
Tegar langsung bangkit dari ringkuhan doanya lalu melangkahkan kaki ke mesbah, ingin bercengkrama dengan Tuhan. Dengan satu harapan bahwa hari ini ia masih diberikan sedikit senyuman.
Ayam mulai berkokok, bersahutan, membangunkan para tuan. Ayam kecil mulai keluar kandang, berlari-larian, saling berkejaran. Sama-sama menikmati pagi yang mengembun dan menyejukkan. Tegar mulai bersiap untuk meniti harinya. Kakinya mantab melangkah. Sebagai anak yatim piatu dan masih berusia sebelas tahun, tidak melunturkan semangat Tegar untuk berjuang. Berjuang meraih mimpi.
Dengan gendongan yang berisi keranjang rapuh di punggungnya untuk menampung sampah-sampah yang ia kumpulkan, lalu sebuah tongkat besi pengorek tempat sampah di tangan kanannya, ia mulai melangkah. Langkahnya mantab dan terbaca bahwa ia benar-benar pejuang tangguh setiap pagi. Kata Tegar mengingat ulang kata-kata ibunya, bangun pagi dan mencari akan mendatangkan banyak rezeki. Itulah yang ditanamkan kuat di hati Tegar.
Belum ada air putih yang singgah di kerongkongannya selain ludah yang ia telan. Apalagi sepotong roti atau bahkan sepiring nasi. Bagi bocah yatim piatu seperti Tegar, tidak makan pagi hari tidak masalah, asal ia masih kuat untuk mengais rezeki. Toh, ia masih bisa berpuasa. Makan sehari sekali baginya sudah cukup. Biasanya ia baru bisa bertemu dengan sepiring nasi ketika selepas Ashar. Ya, di waktu itulah ia bisa menukarkan sampah-sampah yang ia kumpulkan kepada para pengepul.
Matahari mulai merangkak naik, mengintip bumi di sela-sela ilalang yang menari-nari terterpa angin. Langit begitu cerah, seperti hati Tegar yang selalu menyuarakan asa. Ia berjalan di sepanjang jalan entah kemana asal ia bisa mengais sampah yang kemudian bisa ia tukarkan dengan rupiah di penampungan. Tangannya lincah, sampah demi sampah dengan cekatan ia pilah. Matanya jeli, menatap di laci harapan dunia, bahwa masih banyak rezeki yang bisa dicari selain mengemis, meminta di jalanan. Sering juga Tegar dilempari batu kerikil, diusir warga dikira ingin mencuri barang-barang warga yang berserakan di sekitar halaman rumah mereka. Atau kadangkala caci maki ibu-ibu kampung yang tidak merelakan sampah-sampah di kampung dipunguti Tegar. Tegar yang sabar masih tersenyum, matanya semakin berbinar bila kejadian seperti itu terjadi. “Sebab ya beginilah hidup, ada kalanya kita mudah mendapatkan apa yang kita inginkan, namun terkadang sudah di depan mata tapi susah untuk menggapainya. Itulah gunanya kita sabar.” katanya sambil tersenyum dan melanjutkan langkah untuk berburu sampah.
Bayangan tubuh Tegar sudah tepat di bawah kakinya sendiri. Raganya mulai peluh. Keringat menetes di antara pipi dan telinga, juga di sekujur kening. Namun, kaki Tegar kecil yang sudah berlumur lumpur itu masih saja lincah. Sekali-sekali tangannya ia usapkan pada keringat yang membanjir di dahi. Baju kusamnya yang hanya ia cuci selama seminggu sekali untuk mencari sampah itupun juga ia gunakan sebagai penyeka keringat. Tegar masih saja mengorek sampah. Tidak ada lelah di pancaran wajah bocahnya. Matanya menyuratkan kata tentang asa. Asanya menyala, menerobos dan menghancurkan batas lelah. Hari sudah sangat terik, matahari mulai tidak bersahabat. Membakar setiap apapun yang hinggap. Namun, Tegar masih setegar namanya. Tidak ada lelah. “Hanya ini yang bisa saya lakukan!” kata Tegar sedikit lemas. Ya, dia hanya bisa melakukan itu. Tidak ada yang lain yang lebih menguntungkan untuk dilakukan karena mau kerja apalagi? Juru tulis? Pasti akan ditertawakan orang. Untuk menginjak bangku sekolah setingkat TK saja ia belum pernah, apalagi menuliskan namanya di atas kertas dan membacanya.
Sebenarnya di lubuk hati Tegar ia hanya ingin menjadi penulis. “Kata ibu menjadi penulis itu menyenangkan, mengindahkan pikiran dan juga hati.” Kenang Tegar atas kata almarhumah ibunya. Ia ingin menuliskan setiap jejaknya, semua tangis yang tertoreh di kalbunya, eja demi eja asa yang menggantung di bahunya, menuliskan indah yang terlukis di benaknya, menuliskan kata yang menggugah dunia, mengumpulkan tinta mimpi, merangkai menjadi kisah membumi, menebar semangat membuncah.
Perjuangan Tegar mengais rupiah selain untuk mempertahankan hidupnya adalah untuk bisa mencicipi barang sehari saja duduk di bangku sekolah. Mengenal huruf dan angka, membaca, lalu menuliskan namanya dan mewujudkan mimpinya yang melanglang buana hatinya. Ya, hanya itu. Sebab, sepeninggal kedua orang taunya empat tahun lalu, ia belum tahu apa itu sekolah. Tidak ada yang berharga yang ditinggalkan kedua orang tuanya selain ia terlahir di dunia dan mengenal sebuah kalimat sakral, “Akan datang suatu masa di mana kita akan berjalan sendirian. Hanya Tuhan saja yang akan menjadi teman.” sehingga sampai hari ini pun, Tegar belum memiliki seorang teman. Di kota Metropolitan, mana mungkin ada anak yang mau berteman dengannya, meskipun ada di antara mereka yang bersedia, namun orang tau mereka pasti tidak akan menginjinkan anaknya untuk berteman dengan bocah sesosok Tegar. Tidak ada yang salah dari semua ini. Tegar tidak pernah mempermasalahkan hal itu atau menyalahkan siapapun. Ia hanya ingin asa yang ia rajut satu demi satu di pundaknya suatu saat akan menjadi lukisan indah. Dan ia bisa benar-benar menertawakan dunia sepuasnya.
Seringkali, ia teringat kalimat yang diucapkan ibunya, kita akan sendiri, bahkan mati pun kita sendiri, hingga datang suatu ketika ia benar-benar sendiri sesaat ketika ia terbangun dari tidurnya, ia dapati jasad kedua orang tuanya sudah tidak menyisakkan nafas. Manusia mana yang bisa menghadai itu tanpa kesedihan. Manusia dewasa saja belum tentu bisa melewati ini semua dengan ikhlas tanpa tangis, apalagi bocah seperti Tegar, yang tidak punya siapa-siapa lagi selain kedua orang taunya dan air mata yang terus mengalir dari kedipan matanya.
Bingkisan Tuhan terindah yang pernah Tegar dapatkan adalah ketika ia bangun tidur, namun ia dapati kedua orang taunya sekaligus sudah tidak bernafas lagi. Bahkan diajak bicara pun diam. Matanya tertutup, bibirnya rapat mengunci, tidak ada pesan dan firasat apapun. Tidak ada gelisah yang menandakan kado Tuhan seperti inilah yang datang.
Perih itu pasti. Dadanya serasa sesak menahan air mata. Namun, sekuat apapun menahan, tetap saja bening butir air itu akan terjatuh dari sudut mata, membasahi ketakutan yang akan ia hadapi. Berjalan sendirian, tanpa orang terkasih, gelap, pandangnya menggelap. Sempat ia mencakar-cakar keadaan, meninju udara yang hampa, hingga ia tersadar, semua ini takdir Tuhan. Tidak ada yang indah selain ikhlas menerimanya. Memberontak berarti sia-sia dan membuat kedua orang taunya semakin bersedih bahkan sakit hati. Namun inilah jalan hidup hingga Tegar benar-benar akan berjalan sendirian, ia hanya bisa mencurahkan keluh kesah atau nada bahagia kepada Tuhan.
Tidak karena Tuhan mengambil kedua orang tuanya lantas ia membenci Tuhan, melainkan karena inilah bingkisan Tuhan terindah yang ia dapatkan, sehingga ia menyayagi Tuhan, agar bisa mendekap lengan Tuhan lebih dekat, memeluk Tuhan bahkan berselimut kasih sayang di altar Tuhan. Mendamaikan kedua orang taunya yang sudah lebih dulu singgah di sisi Tuhan.
Tegar masih tetap tegar. Setegar namanya, meski terik membakar segala asa, menyusahkan langkah, menghambat cinta manusia, mengucilkan bocah. Tegar tetaplah tegar, bocah kecil bertabur tegar. Ia masih tegar melangkah dengan keranjang sampah di punggungnya, meniti langkah, menajamkan mata, mengorek sampah, merangkainya menjadi cita penuh cinta.
No comments:
Post a Comment
jangan lupa komentar yapss!! biar saya tau jejak Anda.. =)