Puisi 1
Mati
Akan datang suatu hari
Aku tinggalkan jasad diri
Tergeletak sunyi
Di pelataran sepi
Tanpa nafsu tanpa nafas
Mata hidung tertutup kapas
Jiwa raga terlepas
Ruh meleyang bebas
Tenggelam di relung bumi
Hinggap di ranting-ranting berduri
Rokib Atid siap menanti
Hujatan tanya sudah mengantri
Aku sendiri
Ketakutan bukan tanpa arti
Akan datang suatu hari
Aku akan mati
22 Juni.sda 2011
Puisi 2
Terhitung dari hari ini
Besok aku mati
Insan penuh arti kutinggali
Bersama kelukaan diri
Bersama cela aib hati
Hanya maaf yang terpatri
Di keningku saat mati
Terhitung dari hari ini
Besok aku mati
Awan berkawanan dengan matahari
Awan menutup hidungku
Matahari membakar jasadku
Aku akan mati
Besok tak akan ku jumpai
Hari-hari sudah mati
Nafas berangsur terhenti
Dan ruh melayang pergi
Hanya maaf,
Untuk insan yang kutinggali
Sda, 22 juni 2011
Puisi 3
Manusia kecil ini
Tumbuh selayak pohon mahoni
Tinggi angkuhnya
Pahit kelakuannya
Tapi, satu mutiara terpendam dalam
Manusia kecil ini
Si pecinta yang tak lelah
Selalu mencinta tiap manusia
Bukan pahit yang dia minta
Bukan pamrih yang dia tunggu
Tapi,
Bahagia di dunia fana
Hingga matinya tiba
Biarlah semua tertawa
Sda, 22 juni 2011
Puisi 4
Aku ingin mati
Dan mereka tersenyum sedih
Ilalang merundukkan diri
Burung-burung terbangnya berhenti
Menyaksikan aku mati
Aku ingin mati
Saat hari melaju gesit
Agar kiamat tak terbesit
Dan matiku tak rumit
Perlahan udara tak bersahabat
Tanpa menyiksa tanpa sekarat
Aku ingin mati
Sekarang atau esok hari
Sda, 22 juni 2011
Puisi 5
Menangis
Melihat mata-mata tersembab
Menyaksikan raga-raga tergopoh, gagap
Belum bersiap
Atas ajalku yag mendekat
Apakah aku terlalu disayang
Atau matiku memang diharapkan
Menangis,
Langit menangis
Menahan gelak tawa
Atas ajalku yang meluberkan canda
Dan aku,
Hanya diam sambil menangis mesra
Sda, 22 juni 2011
Puisi 6
Sajak untuk pacarku, dari wanita tak bertubuh
Rangkai kata maaf untukmu
Udara masih selimutimu
Jangan kau bimbang atau ragu
Kau bisa tersenyum
Walau tanpaku yang menipu
Ini Sajak untuk pacarku,
Aku kekasih bejat
Mendorongmu ke jurang maksiat
Menghindarkanmu dari kata tobat
Mengantarmu ke lembah sesat
Pacarku tersayang,
Sayangku tak juga melayang
Tapi,
Sayang Tuhan jauh lebih tersayang
Sayangi Tuhan, dan Tuhan memang penyayang
Jangan ragu,
Jalan Tuhan menunggumu
Jangan ambigu
Selagi nafas tersedia untukmu
Sda, 22 Juni 2011
Puisi 7
Keakhiranku tak juga datang
Keakuanku semakin mendalam
Ingin kujemput akhirku
Ingin kubunuh keakuanku
Agar aku bisa mendekat
Mendekap erat matiku
Sda, 22 juni 2011
Puisi 8
Pemuda itu
Berkelana di altar rumahku
Menciumi bau sesuatu
Bukan aroma bunga
Atau wangi buah
Pemuda itu
Hilir mudik
Menelusup kamarku
Bau sesuatu itu
Semakin merasuk
Menusuk
Bilik hidung,,
Pemuda itu,
Melangkahkan kaki
Tanah-tanah memberi arti
Di latar rumahku
Isyarat tersembunyi
Pemuda itu,
Mendekati telingaku
Dan berbisik lirih
:”bau kematian mendekati!”
Sda, 22 juni 2011
Puisi 9
Mati,mati,mati
Hari ini, satu kabar :mati
Besok, dua kabar: mati
Lusa, tiga kabar :mati
Dan selanjutnya, satu kabar lagi :
Mati
Satu pemilik nama yang sudah lama menanti mati:
Aku!
Sda, 22 juni 2011
Puisi 10
Tuhan,
Kau boleh ambil nyawaku
Kau boleh tarik nafasku
Asal kusemai benih kasih
Kau boleh matikanku
Asal kuraba hampar savana pahala
Kau boleh pendam jasadku
Asal kuperbincangkan dulu dengan tanah yang mengubur jasadku
Kau boleh curi ruhku
Asal kulucuti semua benciku pada makhluk-Mu
Kau boleh hentikan detak jantungku
Asal aku siap mati tiap waktu
Dan,
Satu kalimat yang sudah kau tahu,
Ingin kusampaikan padamu :
“Hari ini aku belum siap kembali padamu”
Sda, 22 juni 2011
Puisi 11
Tanya-tanya menyeru resah
Batin-batin menggantung nyawa
Detik sudah tak kukenali
Menghampiri duka penuh misteri
Kadang tanya berfatamorgana
Seperti tanyaku: “kenapa aku terlahir sebagai manusia?”
Berlari mengejar dosa
Berdzikir tanpa doa
Berselubung mantra tanpa kenal Tuhan penguasa
Sda, 25 Juni 2011
Puisi 12
Kaki-kaki berpijak
Bercengkrama di pucuk tanah
Pada lumpur yang kian senja
Kaki-kaki tanpa alas
Mengemban belas, memancung nafas
Hina menyeka
Butir keringat terseka
Tetes embun tak kenal tanah
Kaki-kaki melejitkan sumpah
Enggan berpijak di lumpur tua
Usia membabat masa muda
Lebih baik tanah-tanah mati saja
Sda, 25 Juni 2011
Puisi 13
Aku ingin hidup
Kedua kali di sarang permaisuri
Jantung kencang berdegub
Meluruhkan udara yang bernyanyi
Aku ingin hidup
Setelah oksigen tak meresap masuk
Dalam raga-raga kuncup
Menciut beraroma busuk
Aku ingin hidup
Ketika pohon bersandiwara dengan udara sudah tak sanggup
Sda, 25-6-2011
Puisi 14
Mutiara jelita tersemai
Dua bola mata terberai
Akhir detik melambai
Tangan dan jemari sudah bercerai
Matahari lelah berkuasa
Camar-camar resah berkelana
Dunia sudah mendekap episode bencana
Sebaiknya awan fajar tidur saja
Sda, 25-6-2011
Puisi 15
Waktu melumat umurku
Kulitku sudah melepuh
Senja menggiring alur langkahku
Menuntun ke jembatan tuaku
Seiring laju waktu
Dentang menit berlalu
Desir masa menjauh
Berangsur tegapku rapuh
Rambut-rambut di lahap warna kelabu
Dini balitaku sudah tak kukenali
Sebab, tingkahku laksana bayi.
Dan aku,
hampir mati
Sda, 25 juni 2011
Puisi 16
Jembatan waktu sudah setengah ku sebrangi
Di balik jembatan, muara berduri-duri
Jembatan waktu sudah setengah kusebrangi
Kawanan waktu mendorong diri
Agar segera. Bersujud mencium aroma muara duri
Bulan memincingkan mata pada bumi
Aku tak sanggup lagi bersenandung dengan bocah matahari
Sda, 25 juni 2011
Puisi 17
Kehidupan setelah ajal
Sekian laju detik kunanti
Kematianku hidup kembali
Beribu hatur kasih
Terlontar dari bibir perindu mati
Untuk izroil , malaikat penuh pengertian
Mengertiku dengan keramahan
Kala nadiku terputus
Izroil berbisik mulus
“Kau akan mati
Tanpa akan tersakiti”
Setelah bisikan menggeming di sela telinga
Sesuatu dari tubuhku melayang, membuana
Ternyata, setelah matiku tanpa duga
Cahaya masih kudapati bermetafora
Sda, 25 juni 2011
Puisi 18
Sajak ilalang tua pada belalang
Aku rindu mendekap illahi
Aku ingin memeluk mesra tanpa siksa
Belalang tua menjawab:
“kematian terindah, tanpa sakit mendera dan dibanjiri derai airmata!”
Sda, 25 juni 2011
Puisi 19
Ranting pohon kuamati
Patah satu persatu
Terlepas jatuh terhuyung
Pada pasir-pasir merah ungu
Burung kutilang melompat riang
Di dahan pertama terbesit senang
Dahan kedua mulai bimbang
Dahan ketiga terjatuh, ruh melayang
Mengikuti ranting-ranting dari belakang
Mati tanpa keraguan
Sda, 25 juni 2011
Puisi 20
Lambung hari kuselami
Berdebu, menyesakkan dada
Hari ini harus segera kujelajah
Dari pagi,
Gairah sumringah bergontai merayap langkah
Menapaki jejak-jejak pahala
Yang sudah dijanjikan Dewa
Siangku,
Sepoi angin tak berkawan lagi
Aku dikhianati
Kini, menopang panas surya kupunggungi sendiri
Sore, sedikit bercanda tentang hujan yang malang
Membunuh orang-orangan sawah yang memang pemenang
Nyawanya tak bisa di cabut oleh pemasung nyawa
Hujan bersedih, memendam menang dalam pesakitan
Langkahku ingin menangis
Merasakan lelah hujan semakin dalam, membuai dendam
Pada malam
Dan malam menjelang,
Orang-orangan sawah tetap menang
Tapi, orang sepertiku. Tak pantas menang.
Pemasung nyawa memenggal kepalaku
Memasung separuh langkahku
Aku bersujud lagi, memendam dendam, mengurung diri di kandungan bumi
Lambung hari sudah kulewati
Siksa-derita spontan lekas berhenti
Sda, 25 juni 2011
Puisi 21
Rinai hujan terhenti
Ada sedikit sesal menyesaki
Ada secuil kata hingga di putik bunga
Meleucuti wangi bunga sepintas
Melepas lagi, membiarkan berbaur di antara tetes hujan
Tetes hujan terhenti
Ada satu yang kutakuti
Segelintir makna tak butuh arti
Sebab angin di altar awan sudah merindui
Makna-makna dalam kubangan tetes hujan
Tetes terakhir menghilang
Ada sesuatu beterbangan
Hujan-hujan tak pernah datang lagi
Kala surya dihantam malam
Hujan-hujan tak lagi menyesaki
Kepedihanku semakin merajam
Ada satu bisik hujan
Beramanat tentang kata terakhir di putik bunga
Bahwa wangiku segera menghilang
Menghadap lagi di muka alam
Sda, 25 juni 2011 18:41
Puisi 22
Lilin kecil
Merontakan pendar
Ingin ku permainkan
Ku cuil lelehannya
Yang membening di ruang gelap
Lilin kecil terakhir
di perbincangkan oleh angin
hembus tiupan tipis,
merobohkan sisa pendarnya
lilin kecil,
lelehanmu tak sanggup berpondasi
menopang gelisahmu tak mampu lagi
lilin kecil,
silakan meredup di batas kekuatan
purnama akan datang
angin tipis meredupkan,
sisa pendarmu terbungkus raut masam
sda, 25 juni 2011 18:52
Puisi 23
Kala fajar itu menyapa, berderai air mata meleleh.
Embun-embun tak sanggup menghias. Kabut-kabut sibuk bergegas.
Tugas makhluk alam sedikit terhambat. Berjuta gumintang bertentangan. Sinarnya berkhianat. Berperang melawan udara. Sudah pasti tak akan ada kemenangan. Melumati tanah-tanah menjadikan sebongkah kekuatan.
Kala fajar datang. Sunyi belum sempat tenggelam. Masih mengintip di cela pembaringan malam. Satu demi satu kekuatan berlari pergi. Setelah sekian abad menyatu dengan jasad. Kini berlari tak tahu diri. Tanpa kaki tanpa tangan. Menyakiti jasad yang menangis kehilangan.
Embun-embun hanya bisa menahan isak. Air paginya sudah habis di telan fajar. Terkuras bersama lelehan air mata. Sinar-sinar berpendar kemudian Berpencar tanpa tahu di mana letak cahaya. Mata-mata mulai mencaci-caci. Tentang kepenatan yang memusuhi pagi.
Kala fajar semakin bergeser dan hilang. Langkah waktu satu persatu di patahkan. Agar tak temukan pelupuk nista yang bersembunyi di balik ilalang. Kekuatan yang berlari. Hingga sore menjelang tak akan kembali. Mungkin lupa jalan pulang. atau takut akan kematian yang datang untuk yang kedua kali.
Sda, 25 juni 2011 19:02
Puisi 24
Perhatikan raut mataku,
Cahayanya menjauh
Perhatikan angin itu
Mengejar cahayaku
Yang lupa jalan ke depan
Tersingkir, di balik bebatuan
Tertindih, kemelut liku zaman
Andai angin mengenal kata
Akan terampas eja dan aksara
Yang kutulis di atas nisan
Berteman kardus lusuh pengantar tidur malam zaman
Cahaya mataku menjauh
Sudah berton-ton asa ditelan malam
Angin enggan menjanjikan
Membawa sepotong cahayaku pulang
Sda, 28 juni 2011
Puisi 25
Jemari, tinggalkan suara pada sepotong roti
Tak sanggup melahap meski perut perih
Jemari, memutuskan satu persatu temali
Tuk menjerat lidah-lidah rakus para pemimpi
batu nisan jalanan
bermimpi tentang langit malam
mengayom semesta di mabuk kelam
tapi mimpi hanya mimpi.
Tak pernah menjadi api
Yang membakar gulungan naluri
Yang menyulut asa ke lapis bumi
Jemari-jemari,
Meninggalkan sepotong roti
Mimpi-mimpi bersuara sunyi
Biarlah hinggap di nisan kematian malam ini
Sda, 28 juni 2011
Puisi 26
Sajak-sajak mati
Sudah seribu tahun
Aku memadu lidah dengan kata
Mengikat jemari dengan aksara
Menyeketsa sajak-sajak mati
Sajak-sajak kehilangan arti
Sudah beribu lembar sajak tertuang
Dari tangan-tangan terbuang
Dari lidah tak bertulang
Makna kian hilang
Sajak ini sajak mati
Tanpa diri sajak hanya debu-debu iri
Membuat kusam lorong-lorong keranda
Esok hari tertanam di tanah
Sajak ini sajak sunyi
Disuarakan jasad-jasad mati
Tumbang di kubur para pengkhianat peri
Sajak ini mencari arti
Di tanah makam di altar bidadari
Sda, 28 juni 2011
Puisi 27
Sudah peluh aku mendayung
Laju perahuku di samudra pembingung
Ombak samar tercerai, tercecar
Camar-camar kehilangan pendar
Samudra pembingung membiru
Membanjiri kalbu, berderap dusta mendayu-dayu
Nusa-nusa persinggahan
Melenyapkan raga dari pandangan
Harap terbanting ombak, lebur
Arah tersamar mendung, kabur
Tersesatkah aku?
Mega,
Melukis wajah isroil
Menenteng pena-pena,
Mengukir catatan tentang perahu
Dan dayungku yang malu-malu
Camar-camar bersuara lantang
Meneriakkan nusa tak bertuan
Hanya menyimpan bertubi pembalasan
Sebab dayungku kian lengang
Sda, 28 juni 2011
Puisi 28
Tuhan!!
Aku sadar
Aku terbatas dalam usia
Tuhan, izroil mendekat
Datang ke raga, hampir melekat
Mendekat erat, memutus urat
Tuhan, sedemikiankah usia yang ku punya??
Belum tamat aku berkelana
Mencari surga di pulau neraka
Hari dulu aku lengah
Tak berebut luapan pahala
Tuhan, benarkah?
Kau datangkan izroil sekarang juga
Menyita nafas yang tersisa
Dari raga berlumur dosa
Tuhan, pasti sakit terasa
Kala izroil menarik ruhku
Terlilit tenggorok dengan kawat
Itulah sebuah akibat
Aku lalai tuhan,
Aku lalai,
Keadilan sudah lama kau tawarkan
Sedikit raga tak menggubris dengan seksama
Ibadatku sia-sia
Nerakamu di depan mata
Dan nafasku terhenti sudah
Bali, 14 April 2011
Puisi 29
Di balik keranda itu,
Aku tidur malu-malu
Bukan berlapis emas atau permadani
Hanya keranda karatan,
Penutupnya hampir bosan
Sebab penghuninya terlalu dalam,
Menggali lumbung dosa
Di balik keranda itu,
Aku berbincang dengan kuburan
Tentang cacing, tentang rayap lumutan
Setiap detik melumat kerandaku
Menghilangkan jejakku
Yang sudah tak di harap hadir meminang waktu
Di balik keranda itu,
Aku bersembunyi dari waktu
Sebab aku terlalu malu
Menggendong neraka di punggungku
Memikul nista di pundak pezina
Aku terlalu malu,
Kerandaku semakin karatan dan bau bangkai setan
Sda, 28 Juni 2011
Puisi 30
Izroil!
Berkeliling nirwana
Mematahkan sayap-sayap,
Awan-awan tak berjubah
Izroil!
Datang kala hujan tiba
Hanya secarik karpet nafas kau tarik
Berjuta nyawa tercabik
Izroil!
Jangan kau datang hari ini
Nirwanamu masih berdiri
Silakan berkelana, melambung, membumi
Biar manusia keji ini, besiap diri
Mencari persinggahan
Memupuk segudang permata
Izroil!
Datanglah esok hari,
Sembilan nyawa sudah kuludahi
Ambil satu nyawaku!
delapan nyawa tersekat di sakumu.
Sda, 28 juni 2011
No comments:
Post a Comment
jangan lupa komentar yapss!! biar saya tau jejak Anda.. =)